Rabu, 15 April 2009

Bedah Kebodohan Buku 'HITAM-PUTIH FPI'

“FPI merupakan produk pers yang bernilai tinggi” demikian kurang lebih kalimat pertama yang diucapkan Asrori S. Karni, wartawan Gatra yang dianggap sebagai pemerhati gerakan Islam garis keras, sekaligus sebagai Pembaca Ahli dari penerbit Nun Publisher, yang hari itu bertindak sebagai moderator dalam acara bedah buku ‘Hitam Putih FPI’ karangan Andri Rosadi Lc. M.Hum.


Apapun yang menggunakan kata FPI pasti ‘laku dijual’ di pasar pembaca / penonton media massa. Kelihatannya ini yang dibidik sang penerbit yang bekerjasama dengan majalah Gatra, tentunya dengan memanfaatkan sang pengarang sendiri. Buku ini sendiri mulai beredar hanya sekitar sebulan setelah “Insiden Monas” yang berkelanjutan dengan penangkapan Habib Rizieq, Munarman dan beberapa laskar FPI.

Bedah buku ini diselenggarakan Kamis siang, 14 Agustus 2008, di kantor Majalah Gatra di Jakarta, dengan menampilkan Andri Rosadi selaku penulis buku, Yudi Latief dari Univesitas Paramadina sebagai nara sumber yang diharapkan berada ‘di pihak’ sang penulis buku, serta Adian Husaini dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang diposisikan sebagai pihak yang sentiasa ‘mendukung’ FPI.

Diawal penjelasannya, Andri Rosadi menyampaikan bahwa buku ini bukan untuk ‘menghakimi’ melainkan untuk ‘memahami’. Dan ini secara tegas disanggah Adian yang menyatakan bahwa sangat jelas isi buku ini menghakimi FPI, jadi penulis tidak perlu malu-malu atau takut-takut menunjukkan sikap aslinya. Adian menilai bahwa metodologi maupun studi pustaka yang digunakan Andri sangat lemah.

Sebagai contoh, Adian mengejar dan mendesak terus agar Andri membuktikan di halaman berapa dari suatu buku yang digunakan Andri sehingga ia menyimpulkan bahwa aliran sunni melarang protes pada penguasa. Andri yang kewalahan menjawab akhirnya berkilah bahwa untuk mencari di halaman berapa secara rinci akan memerlukan waktu.

Saat Andri mengatakan bahwa ia berusaha tidak berpihak dan tidak pula memusuhi FPI, Adian Husaini kemudian menyanggah hal ini. Karena sangat jelas tata-bahasa dan pemilihan kata-kata yang digunakan Andri sangat menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap FPI.

Yudi Latief, sebagai nara sumber yang dikenal sebagai pemikir dari kalangan liberal keagamaan, hari itu mungkin agak mengecewakan Andri maupun Asrori sebagai moderator. Yudi yang diharapkan membela Andri habis-habisan, malahan banyak mengkritik metodologi penelitian yang dilakukan oleh Andri. Namun belakangan ia mencoba mengajari Andri peluang –peluang ‘kelemahan’ FPI yang seharusnya bisa digali sang penulis agar tulisannya lebih bermutu.

Upaya mengejar momentum komersil yang baik ini sangat disayangkan kalau harus menjual murah kehormatan intelektual. Tidak layak buku yang sekaligus merupakan karya ilmiah, ternyata membuat suatu metodologi penelitian yang sangat lemah. Bagaimana tidak ? Andri Rosadi sendiri mengatakan beberapa kali di dalam buku tersebut, antara lain di halaman 123, bahwa “FPI merupakan transformasi dari Habib Rizieq”, tapi tidak sekalipun ia melakukan wawancara dengan Habib Rizieq selaku Ketua Umum FPI. Akhirnya buku yang ternyata juga merupakan apalagi dijadikan bahan disertasi S2 Andri Rosadi di UGM, hanya berisi kesimpulan sang pengarang setelah melakukan studi pustaka dan hasil wawancara dengan laskar FPI, serta hasil pendengaran satu arah yang diperolehnya saat mendengar beberapa ceramah Habib. Ia tidak berbicara dengan nara sumber utama (ini menurut kesimpulan Andri sendiri) yang ia anggap sebagai “Core FPI” dan “pusat wacana FPI”, yaitu Habib Rizieq selaku pendiri utama dan Ketua Umum FPI.

Andri memang berkilah bahwa sudah 2 kali berusaha membuat janji dengan Habib namun katanya ditolak. Irwan Arsidi, selaku sekretaris pribadi Habib Rizieq, dalam kesempatan tanya-jawab menyampaikan bahwa melalui seorang penjual Indomie rebus di warung sebelah Mesjid Al-Ishlah dekat rumah Habib, bahwa memang pernah ada seorang yang mengaku wartawan dan mengaku bernama Andri ingin bertemu dengan Habib untuk melakukan wawancara. Sayangnya pesan itu disampaikan melalui penjual mie instan, sehingga kurang tepat secara teknis.

Sangat sulit dipercaya bahwa menemui Habib sulit. Karena setiap Rabu sehabis pengajian rutin, ia selalu menerima puluhan hingga ratusan tamu yang ingin berdialog atau sekedar bersilaturahim. Apalagi sejak dalam tahanan di Polda Metro Jaya, setiap hari rata-rata sekitar 30 sampai 50 orang datang menemui Habib, tak perlu pakai janji.

Dalam pengamatan Tim Redaksi FPI.or.id, kelemahan metode penelitian semacam ini berulangkali terjadi dengan FPI sebagai korbannya. Awal Nopember 2007, hal yang sama juga terjadi dalam presentasi Dr Ian Wilson, PhD, staf pengajar di Universitas Murdoch, Australia, yang berjudul "Pengendalian Sektor Keamanan Informal: Indikasi Negara Lemah", di kampus Universitas Indonesia. Ian Wilson meneliti hal tersebut bersama dengan Prof Dr Richard Robison, dan Guru Besar Kriminolog UI, Prof Dr Adrianus Meliala. Tanpa survei yang jelas kapan dan kepada siapa dilakukan, tim ini dengan sesumbar menyimpulkan bahwa "Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan merupakan faktor penyebab mereka membentuk organisasi tersebut". Saat Humas FPI meminta penjelasan ke Adrianus Meliala mengenai siapa dan kapan penelitian tersebut dilakukan di markas FPI, Adrianus berkilah bahwa Dr. Ian Wilson lah yang melakukan penelitian ke markas FPI di Petamburan, dan bukan dirinya.

Acara bedah buku “Hitam-Putih FPI” yang dihadiri sekitar 100 orang pengunjung dan belasan wartawan itu memang menarik untuk menjadi bahan berita dan membuat buku itu dicari orang. Namun usulan dari sekitar 5 orang tamu yang hadir dan berbicara hari itu, termasuk Adian Husaini, menyimpulkan bahwa, “buku ini tidak ilmiah dan berisi banyak fitnah, sehingga sebaiknya ditarik dari peredaran. Sungguh ini tak pantas disebut acara bedah buku, lebih tepat disebut acara bedah nurani ‘penulis’ buku yang berisi fitnah dan kebodohan metodologi.

Written by : Reporter FPI.or.id/RM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar