Senin, 06 Juli 2009

Mr Mallarangeng: "Quo Vadis...!

Yang membedakan seorang "bibit pemimpin" yang andal dengan bibit yang keropos (alias narsis), adalah apa yang lasim disebut: Kerendahan Hati. Bibit yang katakanlah "unggul" tersebut, tahu dan paham secara mental, apa arti "merendah".

Merendah itu, menampung! Lawan diametral dari sifat menampung ini, adalah ketinggian hati.
Ketinggian hati selalu menempatkan diri di pucuk, sehingga tak mampu menampung apa pun, kecuali keangkuhan.

Dan keangkuhan tak bisa lain artinya, ya, sama dan sebangun dengan karakter narsis tadi. "Narsis" itu adalah julukan seorang pengarang yang jatuh cinta pada bayangan dirinya dalam air. Dari bayangan diri dalam air, si Narsis selalu bersimpul kata: "Akulah yang ter-baik, yang ter-benar, yang ter-tampan, yang ter-cerdas!"

Ia lalu menjadi identik dengan satu-satunya kosa-kata, yaitu: Aku! Aku, lalu berkembang menjadi sebuah paham, yaitu: aku-isme, narsis-me, ego-isme!" Ini adalah bentuk "sosialisasi-diri, supaya semua orang tahu, supaya semua orang memberi apresiasi tentang keunggulannya: "Akulah dan bukan kamu yang mampu berposisi di pucuk!"

Kerendahan-hati hanyalah sebuah utopia dari orang-orang yang berposisi di kerendahan "status" sebagai orang-orang kampung. Lebih jauh dari itu, posisi orang-orang kampung tadi, yang mulanya diposisikan sebagai sekadar "kata benda", digeser ke kata sifat, yaitu: sebagai makhluk-makhluk kampungan!

Sang Narsis pun dengan seenak perut menari-nari (tanpa kendali nurani yang meneriakkan apa yang diistilahkan Erich Fromm dalam "to have or to be",--dengan kata-kata: "I am what I have (or what I consume!").

Artinya: "Saya ini, adalah apa yang aku miliki, dan apa yang aku santap!" Inilah manifestasi seorang pribadi, yang mengidentifikasi diri, dengan apa yang dimilikinya, apa yang dikonsumsinya! Jauh dari karakter yang menjunjung tinggi apa yang disebut ke-mulia-an diri (net to have, but to be),--yaitu bukan soal apa yang aku miliki, bukan soal status,

bukan kedudukan, bukan kekayaan benda, yang membuat aku "diri-sejati" melainkan eksistensi yang ber-nurani.

Semua ini berproses dalam jalan panjang ke-Ilahi-an, menuju apa yang disebut Abraham Maslow: "puncak pengalaman pemuliaan-diri, yang terekspresi dalam sikap dan perilaku kerendahan hati tadi.

***
Berdasar pada pemikiran di atas (yang saya sebut pemikiran umum saja, tanpa keinginan dan tendensi untuk mengait-ngaitkannya dengan posisi seseorang). Saya pun mencoba merelevansikannya dengan kondisi dan realitas lingkungan sosio-kultural kita saat ini, yang sedang gemuruh-gemuruhnya ber-politik praktis,--terutama menjelang Pilpres 2009.

Menurut hemat saya, proses politik yang saat ini kita jalani, tidak lain dari proses machtvorming, berkaitan dengan rumus politik "siapa-pendapat-apa?" atau "who-gets-what?" Politik di sini memang adalah bagaimana kekuasaan diolah, begitu rupa,

sehingga: "Aku bisa duduk di kursi!" Dengarlah seruan-seruan kampanye itu, berupa hujan deras jargon: "Sayalah yang terbaik!" Anda belum waktunya! Maka pilih SBY-Boediono!

Akan halnya di sela-sela gemuruh proses itu, kita terpaksa bertanya: "Macam apa model kampanye Mister Mallarangeng (yang Andi itu?). Hendak kemana ini? Quo Vadis? Andi ini, boleh dibilang adik atau (anak) saya, almarhum ayah beliau lama bekerja sama dengan saya ketia beliau Walikota Parepare, dan saya ketua PWI Sulsel.

Andi Mallarangeng dalam kampanye di stadiun Mattoanging,--untuk menjastifikasi dirinya sebagai orang Sulsel (saudara se kampung),--ia mencoba menggali bagian kecil dari "kearifan" Bugis. Ia, misalnya mengutip adagium "maradeka to Bugis-e" (termasuk Makassar, Mandar, Toraja) yang diejahwantah sebagai kemerdekaan bebas dan merdeka" dalam kaitannya dengan penentuan pilihan politik.

Khususnya dalam pilihan Presiden 2009. Saya kira, pernyataan ini sah-sah saja, sebagai konsekuensi dari politik tahap "who-gets-what". Tapi ketika ia menyebut belum waktunya bagi orang Sulsel memimpin negeri ini, akal sehat kita pun terganggu.

Rasa "terganggu" itu, tidak saja berkaitan dengan eksistensi sebuah komunitas", yaitu manusia Sulawesi selatan, tapi juga (dan ini terutama),--yaitu nilai-nilai kesatuan dan persatuan kita sebagai sebuah bangsa.

Apabila seorang Ben Anson pernah berkata "sebuah bangsa adalah hal yang dibayangkan, --the imegi community,--maka bagi saya itu artinya, bangsa ini sedang berproses menuju eksistensi yang padu dan utuh.

Suatu pencapaian "sentripetal" yang kita tengah perjuangkan mati-matian, dari suatu realitas "sentrifugal"yang di sana-sini masih menyimpan ceceran remah-remah yang "meretakkan", yang beraroma SARA. Siapapun yang berakal sehat, pasti bisa mencium bau kampanye Bung Andi ini, sebagai mengadung bahaya.

Dalam merespons keberatan dan kritik yang ditujukan kepada dirinya, Mr Mallarangeng, bertahan: "Tak ada yang salah dalam pernyataan saya!" Bahkan dia mengutip kearifan Bugis (sebenarnya ini kearifan dari Wajo: artinya ia tak bisa membedakan karakteristik dari masing-masing sub kultur lokal) yang berbunyi khas Wajo: "Adek-emi ri pepuang" (hanya adat yang dipertuan).

Saya bingung, kata adat yang dipertuan ini, konteksnya apa dengan realitas politik menuju Pilpres 2009? Jika "adat" atau "ade" dikaitkan "tu maradeka" yang juga ekspresi dari kultur politik Wajo pada zamannya,

ya, memang jelas konteksnya: "bahwa kebebasan harus ada rambu-rambu hukumnya. Ini artinya, bahwa leluhur kita di Bugis, kultur politiknya sudah sejak dulu bisa mewanti-wanti kemungkinan terjadinya "anarki"

Sebelum di dunia barat ada Machieveli dengan adagium politik "the ends justified the means" (penggagalan cara demi tujuan), kultur plitik Bugis sudah bisa membayangkan kemungkinan terjadinya politik tribalisme: "Siare-Bale" atau homo-hmini-lupufs. Dengan kata lain manusia Bugis sejak dulu telah "matang" berpolitik.

Telah teruji dalam mengatur tatanan "hukum" lewat adagium "Ade-emi-ri popuang", setiap orang kedudukannya sama di depan hukum. Sekaligus telah matang untuk hadir sebagai "negarawan". Lalu mengapa ada kesimpulan dari Bung Andi bahwa orang Bugis belum waktunya jadi presiden?

***
Dalam hal berkehidupan Demokratik, manusia Bugis Luwu telah menetapkan strata sosio politik (maaf kalau saya salah catat), tentang tata aturan yang lebih terurai. Dalam bahasa Bugis berbunyi: "Luka taro Datu telluka taro Adem luka taro ade telluka taro Anang,

luka taro Anang telluka taro tumaega" Artinya: "Batal kata Raja tak batal kata Hukum, batal kata hukum tak batal kata pemuka masyarakat di daerah, batal kata pemuka di daerah, tak batal kata orang-banyak (tumaega).

Inilah inti demokrasi Bugis (Luwu) yang secara singkat disebut "Kekuasaan Laut Pasang",--kekuasaan bersumber dari bawah (dari orang banyak, Rakyat). Jadi kalau kearifan leluhur Bugis ini, dikaitkan dengan politik kontemporer kita khususnya menjelang Pilpres 2009, --maka yang menentukan bisa tidaknya orang Bugis menjadi Presiden, itu berdasar (Ada Tumaega),

alias "kata orang banyak", alias kata manusia Sulawesi Selatan sendiri. Tanpa ada embel-embel yang "menggurui" dari Mr Mallarangeng yang menyebut: "Orang Sulsel belum waktunya jadi Presiden".

***
Adapun menyangkut tak adanya niat dari Andi untuk minta maaf dan mengakui kesalahnnya, ini adalah soal "Getteng",--bahasa Bugis tentang sikap "tegas kencang" tapi di jalur yang rada miring. Respons-responsnya dalam menjawab kritik dari banyak orang, cenderung beraroma "debat kusir".

Maka dengan segal hormat, saya mengusulkan beberapa hal: (1). Penyelesaian secara kekeluargaan, dan kalau Andi tak bersedia, ya jalan kedua; (2) Diharap pihak universitas atau prakarsa Unhas, dilakukan forum ilmiah, untuk menyangkut ke permukaan "kebenaran" yang bisa menjadi referensi nilai bagi generasi mendatang

Oleh : Sdr.Rahman Arge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar